Wednesday, June 19, 2013

Instant Melacak Anomali Cuaca

Jual sprei murah
Serangkaian survei kelautan tersebut ditujukan untuk memprediksi penyimpangan lebih awal. Ekspedisi Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang dilaksanakan pada 1994 hingga 1998 telah membuka jalan untuk menyelami fenomena kelautan yang selama ini masih misterius. Dari survei diketahui pola massa air yang menerobos dari Samudra Pasifik dan penyebarannya ke beberapa selat di perairan timur Indonesia.

Dalam ekspedisi diketahui volume, kecepatan, suhu, dan penyebaran ke beberapa selat hingga ”bermuara” ke Samudra Hindia. Arlindo terjadi karena tekanan dan suhu permukaan Samudra Pasifik barat lebih tinggi daripada Samudra Hindia timur. Perbedaan tinggi rata-rata di Pasifik barat 16 sentimeter ketimbang Samudra Hindia.

Arus ini dari Pasifik Utara sebagian besar (sekitar 80 persen) lewat Selat Makassar kemudian keluar lewat dua ”pintu”, yaitu Selat Lombok (25 persen) dan Selat Ombai yang berlanjut ke Laut Timor (75 persen).

Survei kelautan di kawasan ini kemudian dilanjutkan untuk mengetahui pengaruh pola arus massa air terhadap cuaca dan iklim lokal di kawasan timur Indonesia, regional, hingga global, dan keterkaitannya dengan penyimpangan cuaca El Nino atau La Nina.

Survei lanjutan disebut Instant (International Nusantara Stratification and Transport Program), dilaksanakan mulai 2003 hingga 2007. Dalam ekspedisi ini terlibat peneliti Amerika Serikat, Perancis dan Belanda, Australia dan Indonesia.

Pada ekspedisi ini dipasang 11 pelampung bawah permukaan laut disebut muring (mooring) di sejumlah tempat yang dilewati Arlindo. Muring buatan Australia ini terdiri dari rangkaian instrumen pengukur kecepatan arus, suhu muka laut, salinitas, dan tekanan air laut.

Muring ini tidak terlihat di permukaan laut, bagian atasnya yang berupa pelampung berada 35 meter di bawah paras laut. Jenis muring ini dipilih karena aman dari terjangan kapal dan aksi vandalisme.
Di bawah bola pelampung terikat sebuah kabel tempat sensor dan pelampung lain bergantung berselang-seling hingga ke pangkal kabel yang terikat pada jangkar di dasar laut. Dasar laut di lokasi tersebut dalamnya lebih dari 2.000 meter. Sistem sensor tersebut mengukur parameter kelautan secara otomatis setiap interval waktu tertentu dan merekamnya. Rekaman data tersebut akan diambil petugas di lokasi dengan kapal riset beberapa tahun kemudian.

Dari Instant yang dipimpin Arnold Gordon dari Universitas Columbia Amerika Serikat diperoleh gambaran lebih jelas tentang perpindahan massa air hangat dengan salinitas rendah dari Pasifik ke Samudra Hindia. ”Arus dari Pasifik mengarah ke Hindia, salah satunya karena posisi Pasifik relatif lebih tinggi 16 sentimeter daripada Hindia,” kata Fadli Syamsudin, peneliti fisika kelautan dari BPPT yang mengikuti program Instant.

Dalam kondisi normal, suhu air laut di Selat Makassar 28 derajat celsius dan debitnya mencapai 8 hingga 9 juta meter kubik per detik. Karena perpindahan masa air begitu besar, bila terjadi kenaikan atau penurunan suhu satu derajat saja, cukup berdampak bagi cuaca lokal hingga regional.

Saat terjadi fenomena La Nina, yaitu ketika suhu muka laut di barat Pasifik atau di utara Papua mengalami peningkatan, kecepatan arus laut ke selat itu juga meningkat menjadi 12-14 juta meter kubik per detik, atau naik hampir dua kali dari normal. Kondisi ini terjadi karena air mengalami pemuaian. Sebaliknya ketika suhu muka laut mendingin (El Nino), debit arus laut menurun menjadi 6 juta meter kubik per detik.

”Ketika saat ini terjadi La Nina debit arus di selat tersebut menjadi 12 juta meter kubik per detik. Kondisi ini akan berdampak tingginya curah hujan hingga 6 bulan ke depan,” ujar Fadli.

Pemantauan laut lanjutan lebih diarahkan pada laut dalam, untuk membantu prakiraan dan peringatan dini cuaca ekstrem. Karena laut yang mencakup 70 persen permukaan bumi memiliki andil besar dalam menyerap sebagian besar panas matahari.

”Laut dalam mendapat gangguan lingkungan lebih kecil sehingga dapat merespons lebih baik dan lebih awal gangguan alam dibandingkan dengan permukaan laut.

Jual Sprei Murah

Instant II

Tahun ini dipersiapkan babak lanjutan survei kelautan, Instant II, untuk lebih mengetahui fenoma iklim kelautan, terkait dengan El Nino Southern Oscillation (ENSO). Menurut Arnold, yang ditemui di Indian Ocean and Pacific Conference di Bali, Selasa (18/6), Instant II akan berlangsung hingga 2017 dan difokuskan di Selat Makassar.

Penelitian Gordon dan timnya dilakukan untuk mengetahui jumlah dan keterkaitan volume air ”kolam hangat” di Samudra Pasifik yang memengaruhi munculnya ENSO dengan intensitas dan durasi berbeda-beda.

Ketua Kelompok Peneliti Kebijakan Perubahan Iklim dari Balitbang Kelautan dan Perikanan Widodo Setyopranowo menyatakan, ekspedisi lanjutan ke Selat Makassar akan menggunakan Kapal Riset Bawal Putih III. Pada tahap awal, akan dilakukan penggantian komponen dua muring yang dipasang 1,5 tahun lalu di Selat Makassar.

Kawasan Barat

Riset kelautan di kawasan barat Indonesia, yaitu Java Upwelling Variations Observation (JUVO) dilaksanakan Balitbang Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan First Institute of Oceanography China. Untuk itu dilakukan penjelajahan dari Laut China Selatan untuk meneliti transpor massa air yang melewati Laut Jawa, Selat Sunda, hingga Samudra Hindia.

Selain itu, dengan menggandeng Thailand dua lembaga tersebut meneliti Monsun di perairan barat Sumatera. Tujuannya untuk meneliti fenomena iklim kelautan di laut Andaman.


Jual Sprei Murah

No comments:

Post a Comment