Akhir Setiap Pilkada - Peristiwa terakhir, Pilkada Kota Palembang. Sejumlah toko dibakar.
Kasus Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, juga berlarut-larut.
Riak-riak selalu terjadi meski relatif kecil.
Senin (10/6), Ketua
MK Akil Mochtar memimpin persidangan perselisihan hasil Pilkada Provinsi
Bali. Ia berkeluh kesah di depan para pihak yang bersengketa tentang
sikap mereka menghadapi kekalahan.
”Sayangnya, begitu Mahkamah
menetapkan (perolehan suara yang benar, putusannya selesai, hakimnya
dicaci-maki. Padahal, kita sama-sama di sini, semua dipanggil ke sini
(meja hakim). Kalau ternyata semua (bukti) tidak sama, kita harus pakai
yang ada di dalam kotak suara. Itu, kan, dokumen resmi, disegel,
dikunci. Maka itu, jika terjadi selisih perhitungan, kemudian kita
tetapkan siapa yang menang,” ungkap Akil.
Inti bersengketa di MK
memang adu bukti. Setiap pihak mengajukan alat bukti, baik formulir C1
maupun berkas lain. Ketika alat bukti yang diajukan para pihak
berbeda-beda, MK akan memutuskan membuka kotak suara. Itu pula yang
terjadi dengan sengketa Pilkada Kota Palembang. Formulir C1 yang
dimiliki KPU, pemohon, dan pihak terkait (pasangan calon terpilih)
berbeda. Setelah kotak suara dibuka, ternyata data ketiga pihak tersebut
tidak ada yang sama dengan data di kotak suara.
Karena itu, Ketua
MK selalu mengingatkan para pihak untuk segera mengajukan alat bukti,
bahkan pada sidang pertama. Sengketa pilkada pada hakikatnya adalah
sengketa selisih hasil suara. Tiap pihak mengklaim hitungannya benar.
Namun,
pelanggaran-pelanggaran seperti politik uang, ketidaknetralan
petugas/penyelenggara pemilu, dan pengerahan aparat/pegawai negeri sipil
oleh calon petahana sering dibawa ke MK. Tidak mengherankan jika saat
mengikuti sidang sengketa pilkada, cerita yang akan terungkap adalah
saksi mengaku menerima uang atau barang dari calon. Nominalnya
bervariasi, mulai dari puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah. Barang
pun beragam, mulai dari bahan pokok hingga pakaian. Tidak mengherankan
jika tiba-tiba ada gerobak sayur nongol di ruang sidang MK, jauh-jauh
dibawa dari Sumatera untuk dijadikan alat bukti.
Melihat kondisi
itu, MK mau tak mau mempertimbangkan pelanggaran tersebut. Mantan Ketua
MK Mahfud MD berkali-kali mengungkapkan, kecurangan dan pelanggaran
pilkada itu dilakukan semua pasangan calon. Karena itu, MK membuat
rumusan tersendiri berkaitan dengan pelanggaran tersebut, yaitu
terstruktur, sistematis dan masif (TSM) serta signifikan, memengaruhi
hasil. Jika terbukti, MK membatalkan hasil dan memerintahkan pemungutan
ulang.
77 persen di MK
Namun, relatif sedikit permohonan sengketa dengan dalil TSM yang dikabulkan. Akil Mochtar malah menengarai, pola
TSM kini jadi andalan pasangan calon yang kalah dengan selisih suara
besar. Laporan tahunan MK 2012 menyebutkan, 77 persen pilkada yang
berlangsung tahun 2012 berakhir di MK. Dari 77 pilkada, hanya 18 daerah
yang pilkadanya selesai tanpa campur tangan MK.
Banyaknya perkara
yang masuk ke MK dan sedikitnya perkara yang dikabulkan, kata Akil,
menunjukkan bahwa sebenarnya para pasangan calon hanya siap untuk
menang, tetapi tidak siap untuk kalah. Tanpa bukti yang kuat, mereka
bisa mengajukan keberatan terhadap ketetapan KPU dan meminta pembatalan
ke MK.
Padahal, berperkara ke MK tidak murah. Meskipun MK tidak
memungut biaya perkara, baik pemohon, termohon (KPU), maupun pihak
terkait (pasangan calon yang lain) harus mengeluarkan biaya advokat
serta menghadirkan saksi dan alat bukti. Konflik karena kalah semacam
jadi kompensasi atas biaya. (SUSANA RITA)
No comments:
Post a Comment