Jual sprei murah
Serangkaian survei kelautan tersebut ditujukan
untuk memprediksi penyimpangan lebih awal. Ekspedisi Arus Lintas
Indonesia (Arlindo) yang dilaksanakan pada 1994 hingga 1998 telah
membuka jalan untuk menyelami fenomena kelautan yang selama ini masih
misterius. Dari survei diketahui pola massa air yang menerobos dari
Samudra Pasifik dan penyebarannya ke beberapa selat di perairan timur
Indonesia.
Dalam ekspedisi diketahui volume,
kecepatan, suhu, dan penyebaran ke beberapa selat hingga ”bermuara” ke
Samudra Hindia. Arlindo terjadi karena tekanan dan suhu permukaan
Samudra Pasifik barat lebih tinggi daripada Samudra Hindia timur.
Perbedaan tinggi rata-rata di Pasifik barat 16 sentimeter ketimbang
Samudra Hindia.
Arus ini dari Pasifik Utara
sebagian besar (sekitar 80 persen) lewat Selat Makassar kemudian keluar
lewat dua ”pintu”, yaitu Selat Lombok (25 persen) dan Selat Ombai yang
berlanjut ke Laut Timor (75 persen).
Survei
kelautan di kawasan ini kemudian dilanjutkan untuk mengetahui pengaruh
pola arus massa air terhadap cuaca dan iklim lokal di kawasan timur
Indonesia, regional, hingga global, dan keterkaitannya dengan
penyimpangan cuaca El Nino atau La Nina.
Survei
lanjutan disebut Instant (International Nusantara Stratification and
Transport Program), dilaksanakan mulai 2003 hingga 2007. Dalam ekspedisi
ini terlibat peneliti Amerika Serikat, Perancis dan Belanda, Australia
dan Indonesia.
Pada ekspedisi ini dipasang 11
pelampung bawah permukaan laut disebut muring (mooring) di sejumlah
tempat yang dilewati Arlindo. Muring buatan Australia ini terdiri dari
rangkaian instrumen pengukur kecepatan arus, suhu muka laut, salinitas,
dan tekanan air laut.
Muring ini tidak
terlihat di permukaan laut, bagian atasnya yang berupa pelampung berada
35 meter di bawah paras laut. Jenis muring ini dipilih karena aman dari
terjangan kapal dan aksi vandalisme.
Di bawah
bola pelampung terikat sebuah kabel tempat sensor dan pelampung lain
bergantung berselang-seling hingga ke pangkal kabel yang terikat pada
jangkar di dasar laut. Dasar laut di lokasi tersebut dalamnya lebih dari
2.000 meter. Sistem sensor tersebut mengukur parameter kelautan secara
otomatis setiap interval waktu tertentu dan merekamnya. Rekaman data
tersebut akan diambil petugas di lokasi dengan kapal riset beberapa
tahun kemudian.
Dari Instant yang dipimpin
Arnold Gordon dari Universitas Columbia Amerika Serikat diperoleh
gambaran lebih jelas tentang perpindahan massa air hangat dengan
salinitas rendah dari Pasifik ke Samudra Hindia. ”Arus dari Pasifik
mengarah ke Hindia, salah satunya karena posisi Pasifik relatif lebih
tinggi 16 sentimeter daripada Hindia,” kata Fadli Syamsudin, peneliti
fisika kelautan dari BPPT yang mengikuti program Instant.
Dalam
kondisi normal, suhu air laut di Selat Makassar 28 derajat celsius dan
debitnya mencapai 8 hingga 9 juta meter kubik per detik. Karena
perpindahan masa air begitu besar, bila terjadi kenaikan atau penurunan
suhu satu derajat saja, cukup berdampak bagi cuaca lokal hingga
regional.
Saat terjadi fenomena La Nina,
yaitu ketika suhu muka laut di barat Pasifik atau di utara Papua
mengalami peningkatan, kecepatan arus laut ke selat itu juga meningkat
menjadi 12-14 juta meter kubik per detik, atau naik hampir dua kali dari
normal. Kondisi ini terjadi karena air mengalami pemuaian. Sebaliknya
ketika suhu muka laut mendingin (El Nino), debit arus laut menurun
menjadi 6 juta meter kubik per detik.
”Ketika
saat ini terjadi La Nina debit arus di selat tersebut menjadi 12 juta
meter kubik per detik. Kondisi ini akan berdampak tingginya curah hujan
hingga 6 bulan ke depan,” ujar Fadli.
Pemantauan
laut lanjutan lebih diarahkan pada laut dalam, untuk membantu prakiraan
dan peringatan dini cuaca ekstrem. Karena laut yang mencakup 70 persen
permukaan bumi memiliki andil besar dalam menyerap sebagian besar panas
matahari.
”Laut dalam mendapat gangguan
lingkungan lebih kecil sehingga dapat merespons lebih baik dan lebih
awal gangguan alam dibandingkan dengan permukaan laut.
Instant II
Tahun
ini dipersiapkan babak lanjutan survei kelautan, Instant II, untuk
lebih mengetahui fenoma iklim kelautan, terkait dengan El Nino Southern
Oscillation (ENSO). Menurut Arnold, yang ditemui di Indian Ocean and
Pacific Conference di Bali, Selasa (18/6), Instant II akan berlangsung
hingga 2017 dan difokuskan di Selat Makassar.
Penelitian
Gordon dan timnya dilakukan untuk mengetahui jumlah dan keterkaitan
volume air ”kolam hangat” di Samudra Pasifik yang memengaruhi munculnya
ENSO dengan intensitas dan durasi berbeda-beda.
Ketua
Kelompok Peneliti Kebijakan Perubahan Iklim dari Balitbang Kelautan dan
Perikanan Widodo Setyopranowo menyatakan, ekspedisi lanjutan ke Selat
Makassar akan menggunakan Kapal Riset Bawal Putih III. Pada tahap awal,
akan dilakukan penggantian komponen dua muring yang dipasang 1,5 tahun
lalu di Selat Makassar.
Kawasan Barat
Riset
kelautan di kawasan barat Indonesia, yaitu Java Upwelling Variations
Observation
(JUVO) dilaksanakan Balitbang Kelautan dan Perikanan bekerja
sama dengan First Institute of Oceanography China. Untuk itu dilakukan
penjelajahan dari Laut China Selatan untuk meneliti transpor massa air
yang melewati Laut Jawa, Selat Sunda, hingga Samudra Hindia.
Selain
itu, dengan menggandeng Thailand dua lembaga tersebut meneliti Monsun
di perairan barat Sumatera. Tujuannya untuk meneliti fenomena iklim
kelautan di laut Andaman.
Jual Sprei Murah